Kami adalah Ingatan yang Tak Pernah Gigil

Swadesta Aria Wasesa

Dok Wikihow

Akhir-akhir ini saya banyak memikirkan masa lalu. Membongkar tiap fragmen yang mengatur laku lalu membawa ke waktu yang sekarang. Perihal tentang mereka yang tak pernah benar-benar pergi.

Saya memahami cinta sebagai semesta mempesona sekaligus bahaya. Ia membuka jalan menuju sederet kondisi di mana gairah, imajinasi, dan logika bertukar rupa. Jalan yang tiap keloknya senantiasa mendatangkan hal tak terduga sehingga melahirkan dua perkara: berbalik arah dengan gemetar atau hadapi dengan cara terbaik yang kita punya.

Dari sekian fragmen itu seorang perempuan asal Semarang memenuhi linimasa. Barangkali hanya ingatan tentangnya yang benar-benar utuh, satu. Ia adalah kenangan tanpa penangkal, yang tak pernah meriut dibekap gigil diguyah luka.

Kami adalah kenekatan dengan sejuta tanda tanya. Menjalani setiap hal yang tidak direstui budaya. Serupa ilalang menusuk purnama, dikuyup angin dipunggungi cahaya. Seperti purnama ditusuk ilalang, dibekap kabut diteriaki dunia.

Kami menjadi setiap hal yang disalin penyair dalam puisi. Bertukar pundak melintasi belukar keras meski pada akhirnya babak belur laiknya filsuf yang diinjak-injak tentara. Dan ketika tubuh kami dimamah belukar yang tak berbelas kasih itu, satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah mengaku lalu menelan kalah. Dalam kesepian dan kemarahan yang diam, tanpa angkara.

Sepuluh tahun setelah itu kami adalah ingatan yang damai. Ingatan yang terus memberi tahu bahwa cinta ada tanpa kenapa bagi siapa saja yang berani menghadapinya. Antidot generasi yang mengukur gairah dengan angka-angka. Generasi dalam semesta layar-layar kaca.



Genre: Fiksi

Tema: Cinta