Cinta
Malam hari, menjelang pembukaan Bazar Tenera saya sedih setengah mati. Saya merasa dunia mau runtuh. Soalnya saya sakit. Badan saya panas. Kaki pegal-pegal tidak keruan. Saya membayangkan menjadi anak paling kesepian di dunia. Ketika teman-teman senang-senang di bazar, saya meringkuk di rumah.
Mama mungkin melihat rasa kecewa dan sedih di wajah saya. Sebelum tidur dia menguruti kaki saya. Sakit sekali, kaki ini seperti dicucuki ribuan jarum ketika diurut mama. Setelah diurut satu jam saya tidur sambil menahan perih di sekujur tubuh.
Pagi harinya keadaan saya membaik. Ada secercah harapan datang ke hari ke-2 bazar. Tidak datang ke pembukaan juga tak mengapa, begitu hati saya bilang berulang kali. Hari berikutnya datanglah keajaiban. Demam saya hilang. Suhu tubuh normal dan kaki sudah tidak sakit lagi.
Saya segera bangkit dari tempat tidur. Betapa senangnya mendapat mukjizat semacam itu. Saya bilang ke mama mau ke bazar karena sudah sehat. Mama mengizinkan setelah memeriksa badan saya lalu memberi uang jajan Rp25 ribu.
Hari itu saya merasa jadi orang paling beruntung sedunia. Ketika sampai di bazar yang digelar di Kecamatan Putri Hijau, teman-teman saya sedang tampil menari. Syukurlah masih sempat melihat mereka. Setelah itu saya keliling stand dan jajan banyak. Saya jajan semangka dan es krim di Mathagia. Gila nggak tuh, masa es krimnya hanya seharga lima ribuan. Saya beli banyak es krim. Lupa bahwa baru saja saja sembuh dari sakit.
Hari berikutnya saya makin senang. Selain dikasih uang jajan lebih banyak, saya ikut kelompok ikut lomba mewarnai. Kami mendapat undian ke-8. Kami menggambar tentang suku-suku di Indonesia menggunakan peralatan yang sudah disiapkan. Selesai gambar, saya langsung ke stand makanan membeli pentol dan jajanan lainnya sampai dompet bolong.
Genre: Nonfiksi
Tema: Bazar Tenera