Swadesta Aria Wasesa
Saat ini, kau, diriku 20 tahun yang lalu, sedang asyik membaca banyak buku di lemari bapak. Lemari yang baru dibuka setelah Suharto dilengserkan. Kau sedang membaca cetakan pertama “Catatan Seorang Demonstran”, biografi Sukarno dari Cindy Adams, dan koleksi bapak lainnya yang harus disembunyikan karena Orba melarang peredaran buku-buku itu.
Kau sedang membaca sambil menyandarkan punggung ke lemari berukuran sedang yang salah satu pintunya ditutup poster bergambar Sukarno bertuliskan ‘Profesiku adalah Darahmu’. Bapak menulis itu tahun 1999, beberapa pekan setelah pindah ke rumah baru di Komplek Balitan, Banjarbaru. Itulah rumah pertama kita setelah belasan tahun pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Rumah kita masih sama selama 20 tahun ke depan. Kondisinya lebih baik, sudah berpagar. Genteng tak pernah bocor lagi. Dinding pun tak merembeskan air ketika hujan deras datang. Lemari Sukarno bapak diganti dengan yang baru, lebih besar dan kokoh. Bagian teras dikelilingi tanaman hias. Itulah kebun super mini bapak, tempatnya menghabiskan waktu saat pensiun. Sayang rencana itu gagal karena sekarang bapak malah ditarik ke politik dan alhasil mamah yang lebih sering mengurusnya.
Kita harus berterima kasih pada pejabat yang menaikkan gaji guru PNS. Nasib mereka, termasuk bapak ibu, ikut berubah. Pemerintah nantinya juga memberi kesempatan guru naik jabatan sehingga kehidupan kita sedikit berubah. Belum bisa dibilang sejahtera tetapi lebih dari cukup. Kenaikan gaji itu pula yang membuatmu kuliah di dua universitas negeri di Yogyakarta. Dari sanalah kau akan menempuhi riwayat dengan banyak kejutan di tiap keloknya. Riwayat yang mendatangkan gigil.
Ada banyak peristiwa yang ingin aku ceritakan tetapi bukan tentang penyesalan di masa depan. Nanti, setiap peristiwa, momen, dan babak demi babak yang kau lewati akan membuatmu menarik kesimpulan bahwa apalah arti kehidupan tanpa penyesalan. Kesusahan hati akibat perbuatan masa lampau itu barangkali menjadikan tiap orang awas sekaligus mawas agar tak terjatuh dalam dosa yang sama.
Ada sejumlah peristiwa di masa depan yang akan mengubah mentalmu. Pertama, Tsunami Aceh di bulan ulang tahunmu. Bencana alam paling destruktif yang mengubah geomorfologi dan demografi di Aceh itu akan diikuti gempa besar di Yogyakarta dua tahun berselang. Dua peristiwa itu meninggalkan trauma. Kau takut ke pantai dan lebih senang berada di keramaian meski sendirian.
Kedua, salah satu idola bapak, Gus Dur, meninggal tahun 2009. Setelah Sukarno, Ronaldo Luiz Nazario da Lima, dan Gus Dur, bapak tak lagi punya idola. Bapak tak lagi bercerita tentang para idolanya, terutama pemikiran-pemikiran Gus Dur. Cari tahu sendiri tentang Gus Dur dan tulisan-tulisannya. Dan suatu hari, ketika kau merasa sedang kesepian di dunia yang terus berputar sekaligus membakar ini, Gus Dur akan menyelamatkanmu.
Ketiga, beranilah bicara terus terang dengan ibu dan bapak. Ubahlah daya bacamu menjadi kekuatan dalam bicara, mengutarakan pendapat. Aku tidak akan memberi tahu apa yang terjadi nanti tetapi, bicaralah pada mereka, tentang keinginan dan rencana-rencana yang sudah kau susun dalam kepala.
Terakhir, kau akan mengalami guncangan mental karena patah hati. Bersiaplah dari sekarang karena akan datang waktu di mana kau lebih menyukai kesendirian dan berharap kisah kalian berakhir macam tokoh utama “Love in the Time of Cholera” Gabriel Garcia Marquez. Buang jauh-jauh mimpi itu karena hanya Che Guevara yang mampu menjadi antidot dalam kisah percintaan.
Yang perlu kau ketahui, bila mampu melewatinya, akan banyak keajaiban yang mendatangimu. Kau akan bertemu orang-orang baru, sosok-sosok menakjubkan yang akan membawamu ke banyak ruang, tempat, dan aktivitas yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya: Bengkulu Utara.
Genre: Fiksi
Tema: Memori