Taktik Oman Luluhkan Hati Ibu Santi

Swadesta Aria Wasesa

Oman bersama teman-teman di Gumuk Pasir

Saya punya teman baru. Namanya Roman, panggilan kesayangannya Oman. belum sampai tiga tahun umurnya. Saya bertemu Roman dua kali. Pertemuan pertama tahun 2017 ketika ikut piknik guru-guru Sekolah Tenera Bengkulu Utara ke Jogja. Saat itu Oman baru satu tahun dan selalu lengket di gendongan Ibu Santi, Mamaknya, karena jalannya masih belum lancar. Patah-patah.

Ibu Santi ini juga guru Tenera. Ibu Santi dan Oman jadi ketua kelas rombongan sekolah tenera. Saya belum mengerti benar apa yang Oman katakan waktu itu. Obrolan kami selalu diterjemahkan Ibu Santi.

Mei 2019 saya bertemu untuk kedua kalinya dengan Oman. Masih di Jogja. Ibu Santi dan Oman masih jadi ketua rombongan, kali ini bukan guru-guru tapi Perkumpulan Ibu-Ibu (PII) Agricinal. Oman sudah lebih besar dibanding dua tahun lalu. Dia sudah bisa lari, menunjuk sesuatu yang menarik perhatiannya, lalu bicara banyak. Oman tidak hanya berkembang fisiknya. Sepertinya sifatnya juga. Dia jauh lebih hangat.

Saat bertemu lagi saya cium pipinya. Dia tertawa, tidak lagi menangis ketika ada seseorang yang tidak dikenalnya mendekati seperti dua tahun lalu. Tawanya seolah menerima ciuman kangen itu. Saya juga mulai mengerti apa yang ia celotehkan. “Tu atu alna bru (itu batu warna biru),” celotehnya menunjuk batu di samping saya dan Ibu Santi saat ngopi di cafe hotel.

“Iya Biru. Lucu,” kata saya lalu cium dia lagi.

Oman sekarang bisa dekat dengan siapa saja. Dia enggak keberatan digendong siapa saja, bahkan sama orang yang baru dikenalnya. Di bus, dia pernah digendong sama sopir. Ibu Santi yang kerepotan saat Ibu-Ibu PII ajak main Oman bergantian. Dari Ibu Jojor ke Bu Payung lalu beralih ke yang lainnya. “Mana anakku? Mana Anakku?” tanya Mamaknya, saat kami hendak naik bus dari tempat wisata.

Oman sepertinya tahu betul bahwa panik adalah kelemahan terbesar Mamaknya dan banyak yang suka padanya. Dia memanfaatkan itu agar Mamaknya menuruti keinginannya. Cerdas juga Oman, sepertinya saat besar nanti dia bisa jadi pelatih tim sepakbola atau ahli strategi militer. Dua kali saya menemui taktik Oman itu di tempat wisata.

Hari pertama kami dan rombongan wisata ke Candi Borobudur, Land Mark Merapi, Kopi Klotok, dan Pabrik Kaos. Oman biasa saja. Lalu hari kedua kami mengunjungi Hutan Pinus Mangunan, Taman 1000 Batu, Pantai Depok, lalu Gumuk Pasir. Oman mulai antusias apalagi saat di Gumuk Pasir. Wisata yang satu ini bukan favoritnya rombongan sebenarnya. Maklum Yogya sedang panas-panasnya. Geomorfologi gumuk pasir yang gersang bikin panas kian terasa. Tapi bagi Oman, ia seperti menemukan apa yang selama ini dicari.

Sejak turun bus, Oman sudah antusias. Dia meronta dari gendongan Mamaknya. Di gumuk pasir, Oman mengajak Inggit, salah seorang rombongan main pasir. Inggit ini tipikal anak yang suka berkawan juga. Dia bisa bikin Oman betah. Oman berkotor-kotor ria. Jatuh bangun dia di padang pasir. Panasnya hari sepele bagi Oman. Mamaknya yang melihat itu menegurnya lalu mau menggendongnya lagi. Wajar lah, Mamaknya khawatir pasir masuk mata. Oman enggak mau. Dia enggak mau digendong lalu lari menuju Inggit. Dipeluknya Inggit erat-erat. Dicuekinya Mamak yang sedang membujuknya untuk tak main pasir.

“Ya sudah, Mama tinggal ya, Mama tinggal,” ancam Ibu Santi.

Oman melepaskan pelukkan Inggit lalu jongkok membelakangi Mamaknya. Ngambek. Melihat perilakunya, Ibu Santi enggak jadi marah lalu malah minta maaf ke Oman. Yess, Oman boleh lanjut main pasir.

Oman

Dari Gumuk Pasir, kami kembali ke hotel untuk istirahat. Malam harinya kami melanjutkan jalan ke Taman Lampion. Disebut taman lampion karena tempat wisata yang terletak di halaman museum Monumen Jogja Kembali ini berisi lampu dengan beraneka ragam bentuk. Ada lampu berbentuk dinosaurus, kereta, rumah penduduk eskimo, wajah tujuh Presiden Indonesia, dan lain-lain. Oman sangat antusias. Sepersekian detik setelah turun dari gendongan Oman kembali lari-lari di dalam area. Kami mengira Oman tertarik pada lampu-lampu, tapi ternyata salah.

Dari kejauhan Oman melihat anak-anak yang sedikit lebih besar darinya bermain trampolin di area permainan. Sampai di depan loket antrian, Oman melihat wajah Ibu Santi.

“Enggak Boleh,” kata Ibu Santi sambil menggerakkan jari telunjuknya kiri kanan.

Oman ngambek. Tiba-tiba ia minta gendong pada dua orang perempuan yang sedang menunggu antrian. Wajah Oman yang lucu terang saja bikin tak pikir panjang menggendong Oman. Digendongnya Oman. Saat Ibu Santi membujuk Oman, pelukannya makin erat. Oman juga buang muka. Wajah Mamaknya berkaca-kaca, tampak sedih karena Oman enggak mau ikut dia lagi saat kembali diancam akan ditinggal.

“Ya sudah ayok ayok kita naik trampolin yuk,” bujuk Mamaknya.

Oman lalu tertawa kecil lalu pindah ke gendongan Mamaknya. Eh, tapi Oman tertipu. Ibu Santi menjauhkannya dari trampolin raksasa itu. Wajah Oman yang tadi bahagia jadi sedih lagi. Wajah Oman kembali ceria setelah naik sepeda bersama Inggit di area permainan. Tenang Oman, tiga sampai empat tahun lagi pasti boleh naik trampolin.

Tukang Kebun



Genre:

Tema: