Cowok Ganteng Bernama Rico

Apriyanti

Ini adalah cerita nyata saat masih duduk di bangku SMP.

Aku selalu diejek dua sahabatku, Lusi dan Sinta karena selalu kaku berteman dengan laki-laki. Jangan salah paham dulu, maksudnya berteman itu ya bersahabat bukan pacaran. Tapi ada satu momen yang sedikit mengubah kebekuan itu, ketika aku bertabrakan dengan sosok teman sekelasku bernama Rico saat piket.

Dok Wikihow

Tubrukan itu cukup keras sehingga kami terjatuh di lantai. Kakiku terluka, serupa parutan panjang karena tergesek di lantai. Rico membantuku berdiri lalu mengoleskan obat merah ke lututku. “Maaf ya, tadi aku enggak sengaja,” kata Rico sambil mengolesi lututku. Dia lalu menuntunku ke kursi terus melanjutkan menyapu kelas.

“Ciye…ciye…,” goda dua sahabatku yang ternyata melihat momen itu. Setelah puas mengolokku mereka melirik ke arah Rico. Rico adalah cowok ideal di sekolah. Selain tampan dan pintar, Rico juga aktif di basket dan OSIS sehingga banyak disukai perempuan di sekolah. Tapi mungkin aku perempuan pertama yang bertubrukan dan sedekat itu dengannya saat dituntun ke kursi.

Suatu hari kami mau berangkat lomba recorder. Sebelum berangkat dua sahabatku menangkap sinyal bahwa Rico mulai mendekatiku karena dia mengajak kencan bila kami menang lomba. Dua sahabatku itu makin menjadi-jadi mengejekku sampai wajahku memerah. Mereka kira aku menyukai Rico setelah momen tabrakan di kelas itu. Setelah tampil di lomba, Pak Mujiono, guru pemimbing musik memuji penampilan kami lalu berdoa agar kami menjadi juara. “Amin,” sahutku berbarengan dengan Rico.

Hanya kami yang menyahut doa Pak Mujiono itu sehingga ejekan semakin besar, tidak hanya Pak Mujiono dan dua sahabatku, semua murid di kelas menyoraki kami. Semua orang kembali bersorak ketika nama sekolah kami keluar sebagai juara. Aku malah pucat pasi sekaligus degdegan karena harus menepati janji ke Rico.

Rico benar-benar datang ke rumah menjemputku jalan-jalan. Dia disambut ramah keluargaku. Aku keluar dengan perasaan yang tidak keruan. Suara detak jantungku nyaris melenyapkan bunyi detik jam dinding. Begitu mendapat izin dari orang tuaku, Rico langsung memberi aba-aba agar aku naik ke motornya. “Pegangang ke pinggangku ya biar enggak jatuh,” pintanya tapi aku memilih duduk tegak, memberi jarak ke punggungnya yang gagah itu.

Kami menuju sebuah cafe sederhana. Di sana markas Rico dan teman-temannya rupanya. Begitu masuk cafe, musikus yang sedang reguleran melambaikan tangan padanya. Wah, dia orang yang punya banyak teman juga rupanya. Es jeruk yang aku pesan sedikit menenangkan perasaanku saat itu. Rico, langsung mengajak ngobrol topik yang aku suka: pelajaran sekolah. Dia menyelipkan pujian di tengah obrolan yang sedikit aneh itu.

“Nah nanti kamu bantu aku matematika ya, soalnya kamu pintar sekali. Nanti aku bantu kamu pelajaran IPS deh,” kata Rico memancang jurusnya yang langsung aku iyakan.

Ketika kami sudah mulai cair saat mengobrol tentang teman-temanku, Rico mendadak menyatakan cintanya padaku. Terus terang aku tidak kaget, hanya saja degup jantungku makin keras. Dengan tenang aku bilang bahwa tidak bisa menjawabnya saat itu dan meminta waktu padanya. Terus aku juga mengajaknya pulang karena sudah ngantuk berat.

Aku baru bisa memberi jawaban dua tahun setelah momen di cafe itu, mendekati perpisahan sekolah. Selama dua tahun itu Rico benar-benar menunggu dan tidak pernah mendesakku meski kami sering belajar dan diskusi bersama tentang pelajaran sekolah. Padahal laki-laki seperti dia bisa dengan mudah mendapatkan pacar karena banyak yang mengantri. Tapi di sore itu aku memberi jawaban menyakitkan padanya.

“Sudah aku putuskan Rico, lebih baik kita jadi sahabat saja. Kalau sahabat itu kekal, bisa berkomunikasi kapan saja. Bisa saling tolong, saling bantu, tanpa harus merasa memiliki. Lagipula setelah tamat SMP aku akan pindah ke Lampung,” jawabku.

Jawabanku mungkin di luar ekpektasinya. Dua tahun penantian tidak berakhir manis baginya. Tapi Rico tampaknya mengerti dan senyumnya sore itu mampu mengalahkan senja yang tersusun dari banyak warna. Terima kasih Rico.



Genre: Nonfiksi

Tema: Memori