Si Mbok

Sutarti

Dok. Nocookie.net

Tidur siang itu hampir jadi mitos di empat kelahiranku, Wonogiri, Gajah Mungkur. Di siang hari yang panas itu kami punya budaya ngobrol ngalor ngidul ditemani teh dan rengginan, telo, atau pisang godog. Wenak sekali.

“Nduk, (nak) aku tidak sekolah tinggi dan tidak pintar. Tapi aku ingin kalian sekolah dan belajar cari ilmu,” nasihat Si Mbok saat kami sedang leyehan di siang bolong.

Di momen serba santai itu jadi titik Si Mbok mengatur rencana dan tenaganya. Padahal kami menanggapinya sambil ngemil karena tahu bahwa kondisi ekonomi tidak memungkinkan maka kami tak menuntut harus sekolah. Tapi Si Mbok sangat serius. Beliau membantu bapak dengan segala upaya agar anaknya bisa sekolah dengan cara yang tidak biasa. Dari jualan keladi di pasar, menjajakan kulit sapi alias jangek, sampai menumpang di gubuk orang untuk mengambil latek alias getah karet.

Memelihara sekaligus mendidik enam orang anak butuh biaya besar.  Tapi dia bisa ‘memaksa’ anak-anaknya ke perguruan tinggi. Ketika kami sudah bekerja dan ingin memberi hadiah apel merah yang ranum dan manis untuknya,  Si Mbok dijemput sang pencipta, gugur di medan perang seperti pahlawan.



Genre: Nonfiksi

Tema: Keluarga