Kisah-Kisah Ajaib di Tenera

Setyaningsih

“Buk, kalo perpustakaan banyak buku boleh?” Sebuah kelas di SD Tenera Bengkulu Utara sedang riuh tatkala pertanyaan itu terbit dari mulut seorang bocah perempuan kelas III A berambut hitam lurus, Angel Sugestia. Ia langsung menghadap kertasnya lagi setelah mendengar jawab “boleh” yang mantap.

Anak-anak Paud Tenera (Foto: Bilik Literasi)

Anak-anak lain pun tampak sibuk menggerakkan pena. Mereka mencipta kisah imajinatif atau pengalaman mereka bersama buku. Sesekali, mereka menyelingi peristiwa pagi nyaris siang itu dengan berlarian, mengintip goresan teman, atau berbincang kecil dengan teman sebangku.

Hari tatkala pertanyaan Angel terbit, 3 Oktober 2017, hari kedua saya dan empat teman Bilik Literasi Solo berada di Bengkulu Utara. Kami mengobrol dan menulis bersama murid-murid di pelbagai jenjang pendidikan, guru, dan karyawan di bawah naungan Yayasan Pendidikan Tenera, PT. Agricinal di Kecamatan Putri Hijau. Kami di sana selama seminggu dalam rangka perayaan Bulan Bahasa. Kami datang berbagi cerita dan mendengarkan mereka mengoceh.

Dua kardus buku dan sekardus majalah kami persiapkan sebagai hadiah yang dirasa-rasa sungguh kurang. Apa yang kami lakukan bukan gerakan besar atas restu pemerintah atau sponsor bergengsi. Perjalanan diputuskan dalam obrolan singkat bersama pihak yayasan tanpa teken kontrak. Kami dolan untuk menemani belajar, bukan bergerak sebagai aktivis literasi sekolah.

Derma Buku

Peristiwa besar dimulai dari kenekatan kecil. John Wood, mantan pejabat Microsoft yang super mapan, meninggalkan perusahaan lalu memilih jadi penderma buku-buku, pencetus perpustakaan, dan penyelamat pendidikan serta kesetaraan gender bagi negara-negara  Dunia Ketiga lewat organisasi nirlaba “Room to Read”. Di buku Mengembangkan Ruang Baca ,potongan-potongan perjalanan John Wood bisa ditemukan. Salah satunya momen di pedesaan Vietnam, Dien Hong, saat Wood bertemu bocah bernama Thanh.

Dien Hong adalah desa yang terlalu miskin untuk pendidikan dan perpustakaan. Ketika perpustakaan berhasil dibangun, Thanh mengatakan kepada Wood, “Nama saya Thanh. Saya punya cita-cita sederhana, Pak John Wood. Saya ingin membaca setiap buku di perpustakaan ini. Pertama saya akan membaca semua buku berbahasa Vietnam kemudian saya akan membaca semua buku berbahasa Inggris.”

Menjadi pembaca adalah impian dan capaian. Kesempatan bertemu buku terjadi seketika rumah buku hadir menerima kehadiran siapapun tanpa diskriminasi.

Sejak awal abad ke-20, kemunculan aneka badan amal atau lembaga charity sepertinya turut memunculkan kesadaran bahwa buku juga sebagai hal berharga yang patut diberikan. Orang-orang dari pelbagai profesi dan bidang mengangkut eksemplar buku-buku dengan perahu, vespa, gerobak sampah, kuda, angkot, becak, dan sepeda..

Saya tidak hendak menyamakan perjalanan ke Bengkulu Utara sebagai misi suci. Kami tidak menganggap anak-anak di SD Tenera tidak suka membaca, terlalu miskin buku, atau belum pernah bertemu buku. Anak-anak di Tenera memang sudah membaca dan menulis. Kepala Sekolah SD Tenera, T. Apriyanti, yang tertawanya nyaring pun sangat bersemangat mengobrolkan kegiatan literasi dimulai dari tingkatan kelas sampai agenda Kemah Hijau setiap Hari Bumi. Acara apapun, selalu ada tulisan. Seperti pertandingan sepak bola antar karyawan perusahaan kelapa sawit, anak-anak pun dikondisikan datang bukan hanya untuk menonton. Mereka menulis!

Perjalanan kecil kami ini sekadar menekankan harus ada pendokumentasian tulisan dalam bentuk buku. Anak-anak dan guru akan memiliki buku atas apa yang telah ditulis. Beberapa hari sebelum berangkat, kami mengobrolkan tema-tema yang akan diocehkan dan ditulis. Terutama di SD, ada tiga tema pada mulanya; alat transportasi, buku, dan idola. Tema terakhir akhirnya kami ganti dengan binatang agar lebih lekat dengan anak-anak kelas I dan II. Anak-anak boleh memilih gaya tulisan berupa cerita pendek fiksi atau pengalamannya sendiri.

Hadiah yang kami bawa adalah ajakan kecil merasai memiliki buku. Selama ini di sekolah, kita biasanya hanya akan diajari menjadi peminjam buku dengan menjadi anggota perpustakaan. Selebihnya, memiliki buku bacaan atau mendapat hadiah buku bacaan masih dianggap kemewahan yang aneh. Maka, biasanya hadiah kenaikan kelas sebagai prestasi bukan buku bacaan imajinatif, tapi buku tulis. Pun, di masa kanak jarang sekali bisa menemukan figur seorang guru pembelanja dan pengoleksi buku. Memiliki buku setara dengan pengajaran tentang kebersihan, keagamaan, ataupun toleransi.
Buku Perasaan Diri

Di hari ketiga menemani belajar, 4 Oktober 2017, saya cukup terpukau menemukan sosok wali kelas pengasuh kelas I A, Ibu Sari. Ia cantik, murah senyum, dan saya bisa membayangkan suara renyahnya ketika membacakan cerita di hadapan anak-anak anak. Ibu Sari memang tengah menekuni cerita bersuara demi anak-anak. Meski mengaku tidak suka buku dan menulis,  dia tidak mau anak-anak mengalami ketidaksukaan ala dirinya.

Sejak pertemuan itu, saya menobatkan Ibu Sari sebagai guru kelas 1 paling keren yang sulit ditemukan padanannya masa kini. Di SD Tenera, semua kelas tidak hanya menerima program 15 menit membaca imajinatif sebelum pelajaran sebagai anjuran resmi berliterasi pemerintah. Anjuran itu  dirombak total, tidak berhenti pada membaca saja. Pojok Baca kelas memasok buku-buku bacaan untuk anak-anak. Usai membaca buku dan bertukar, seminggu sekali anak-anak membuat tulisan hasil pembacaan. Entah berbentuk rangkuman, laporan data buku, atau mencipta cerita lain. Buku hasil pembacaan itu sekadar ditulis di kertas bekas atau folio yang dipotong lalu dijilid sederhana.

Uniknya, Ibu Sari tidak hanya menemani anak membuat laporan pembacaan buku. Ia juga mengajak anak-anak menulis catatan harian. Ibu Sari termasuk berhasil mengamalkan ide-ide literasi yang disampaikan dalam rapat yayasan. Jadilah setiap anak di kelas satu memiliki buku harian yang bercerita tentang keseharian mereka di rumah atau sekolah.

Jika anak belum bisa bercerita, buku menjadi semacam lembaran latihan menulis kalimat-kalimat sederhana. Dari tulisan anak kelas satu, kesalahan tulis huruf, tanda baca, atau ejaan bukanlah aib. Di buku kecil bersampul kertas warna yang juga dijilid sederhana serta dihiasi daun-daun kering, anak-anak berani mengekspresikan perasaan, meramu masa depan, dan bergejolak dengan impian-impian.

Kita bisa cerap. Salah satunya seorang anak menulis dengan lugu dan bersahaja: “besar ku nanti kalau sudah dewasa saya mau menjadi guru sudah pulang murit murit saya mau jual keripik dan es saya kalau jadi guru kalau ulangan misalnya ulanganya hari senin sampai hari rabu hari kamis sampai minggu kami tidak masuk sekolah..” Anak menulis dengan keluguan sebagai kanak tanpa muatan moral yang tampak. Dari buku harian, tanggung jawab guru tidak cuma mengasah kemampuan kognitif, tapi lebih mendalam Ibu Sari menyelami kejiwaan anak. Masalah serius di rumah pun tertangani karena anak menuliskan keresahan yang menimpa diri. Dari ujaran perasaan anak, Ibu Sari memilih menjadi guru yang mengasih dan mengasuh.

Buku Harian dan Laporan teman-teman Tenera (Foto: Bilik Literasi)

Tulisan-tulisan tangan anak-anak SD, SMP, SMA, guru, dan karyawan Tenera kami bawa pulang untuk diketik dan dibukukan. Buku-buku kelak akan menjadi pengingat bahwa mereka pernah menjadi pencerita sebagai wujud penghormatan diri. Tulisan-tulisan itu menjadi saksi sekaligus pemantik diri pernah dan akan terus menulis. Mereka mengabarkan bahwa sekolah yang ada di tengah perkebunan sawit dan jauh dari “peradaban” telah melahirkan anak-anak penggandrung-pendamba buku. Juga, mengabarkan keteguhan guru mengajar tanpa harus dijuluki pejuang atau pahlawan.

Dengan berbuku, orang-orang bisa ke mana saja. Bermula dari rasa penasaran, raga bisa saja melompat jendela atau bahkan mendobrak pintu. Jendela harus digantikan untuk melegakan rasa penasaran saat raga hanya bisa melongok atau memandang jauh dengan patah hati. Di Tenera, buku sudah menjadi pintu atau justru gerbang keluasan. Biarlah buku sebagai jendela menjadi istilah gagrak lawas yang segera direnovasi dari perasaan dan pikiran.

Di Bengkulu Utara, kami merasakan hidup di tempat yang jauh dari toko buku, loakan buku, atau pameran-diskonan buku yang tampak membuat buku jadi nikmat nan mewah. Entah, meski terdengar mustahil, tanpa disadari saya sempat menghaturkan doa di hadapan anak-anak ketika mendapati kenyataan menyebalkan bahwa buku-buku bacaan hadiah yang kami bawa dari Solo tidak akan cukup menggenapi pengalaman setiap anak memiliki buku.

Terbayang wajah anak-anak berseragam merah-putih nan semringah, bersiap memintal kisah-kisah terajaib yang diganjar dengan buku. Saya berdoa agar berkardus-kardus buku hadiah jatuh dari langit lewat tangan (kata) siapapun. Siapa tahu Tuhan akan mempertimbangkan doa ini. Amin!

Setyaningsih

Bilik Literasi Solo (Tulisan asli bisa dibaca di blog pribadi penulis: maosbocah)



Genre:

Tema: