Bikin Orang Tua Stres Saat Kabur dari Rumah Kelas 2 SD

Swadesta Aria Wasesa

Istimewa

Sekira 22 tahun silam, waktu masih duduk di kelas dua SD, saya kabur dari rumah. Saya kabur ke tempat rumah Papah di luar kota yang jaraknya 40 kilometer dari kediaman saya. Jarak 40 kilo itu ditempuh satu jam dengan angkot atau sepeda motor. Saya kabur pakai sepeda. Waktu tempuhnya dua kali lebih lama.

Seingat saya, kenekatan itu muncul setelah Papah mengunci saya dalam gudang lantaran sering bolos sekolah. Pagi-pagi sekali saya sudah nongkrong di depan rental mesin dingdong di dekat Pasar meski belum buka bersama teman saya, Anjar. Kami duduk-duduk. Ada rasa malu juga ketika melihat anak-anak sekolah lain melintas di depan kami. Syukurlah saya sudah berganti baju di rumah Anjar yang sepi karena ditinggal orang tua mereka ke Jawa. Pembantunya kongkalikong dengan kami sepakat tidak melaporkan ke orang tuanya.

Baju ganti itu menipiskan rasa malu di depan anak-anak sekolah lain yang lewat. Rentalan dingdong yang berada di sebuah rumah salah satu pesohor di kota tempat saya dibesarkan itu masih berpagar. Kami duduk-duduk di depannya. Tiba-tiba Papah muncul dengan suara bentakan nyaring. Saya ditempeleng. Anjar lari dengan sepedanya beberapa detik ketika tangan besar itu mendarat di wajah saya.

Papah memboncengkan saya ke rumah. Sepeda kami taruh di antara punggungnya dengan dadaku di atas jok. Sampai di rumah Papah memarahi saya habis-habisan. Terkuak pula kebohongan lain seperti uang SPP yang habis untuk main dingdong. “Plakk” saya ditempeleng lagi lalu diseret menuju gudang rumah. Seperti tawanan yang diinterogasi di film mata-mata, saya diikat pakai kabel bekas di sebuah kursi. Pintu gudang juga dikunci. Papah lalu pergi kembali ke tempat kerja.

Saya lupa persisnya berapa lama saya dalam gudang. Tempelengan Papah masih terasa sakit di wajah. Untuk anak seusia itu, menangis laiknya Ibuprofen yang harus dibeli sesuai resep dokter. Bedanya menangis bisa menahan rasa sakit secara gratis. Tiba-tiba saya marah sekali. Saya melepaskan ikatan dengan mudah karena Papah tidak terlalu kuat mengikat kabel di kursi. Pintu saya tendang-tendang sampai rusak.

Saya berhasil keluar lalu mengambil tas ransel sekolah, mengeluarkan buku-buku lalu mengisinya kembali dengan baju-baju. Botol minuman bergambar batman kesayangan saya isi dengan air putih. Saya tidak punya uang buat jajan di perjalanan. Setelah semua persiapan selesai, saya pun kabur dari rumah ke rumah teman Papah.

Ternyata tidak cukup dua jam perjalanan saya tempuh. Hanya ada satu jalan besar menuju rumah teman Papah. Mobil-mobil dan sepeda motor sangat padat. Saya menggejot sepeda pelan-pelan di tepi jalan. Kadang sepeda saya tuntun. Kadang berhenti untuk minum bekal. Kadang berhenti untuk melap air mata. Saya sempat berpikir tidak bisa bertemu orang tua saya lagi, terutama Mamah yang tinggal terpisah dari kami karena pekerjaan. Sempat juga berkhayal ketika besar nanti saya jadi preman setelah diculik kawanan berjubah hitam di tengah perjalanan.

Saya sampai ke rumah Teman Papah tepat ketika azan Dzuhur. Rumahnya di belakang sekolah SMA yang cukup terkenal di kotanya. Dekat pula dengan terminal angkot. Pakde Aris, begitu kami sering memanggilnya. Dia adalah teman baik Papah masa kuliah dulu di Yogyakarta. Nasib alumni sebuah kampus pendidikan di Yogya era Orde Baru (Orba) lebih enak ternyata. Setelah lulus, mereka harus mengikuti perintah negara yang menempatkan lalu mengangkat mereka PNS Guru di pelosok. Tapi gajinya sangat kecil dibandingkan sekarang. Artinya mendapat pekerjaan tetap yang sangat mepet untuk sebuah keluarga, apalagi dengan dua anak.

Mereka cukup terkejut dengan kedatangan saya. Pakai sepeda pula. Istri Teman Papah menyuruh saya masuk, mandi, lalu menyiapkan makanan. Saya bilang ke mereka kalau tidak boleh memberitahu Papah saya di sana. Mereka janji tidak akan memberitahu. Saya sungguh senang ketika mereka janji tidak memberitahu Papah. Saya mantap tinggal di sana. Tidak mungkin dimarahi dan ditempeleng lagi.

Esoknya, setelah makan siang saya duduk di teras rumah bersama anak Pakde. Saya mainan lego, coba membuat Batman yang tidak pernah berhasil. Ketika rasa frustasi muncul tiba-tiba Papah muncul bersama Mamah. Saya mematung. Mau lari tidak bisa. Papah dan Mamah menjemput saya kata mereka. Sore hari kami pulang pakai angkot. Papah duduk di depan sopir sambil membawa sepeda setelah negosiasi panjang dengan sopir. Saya dan Mamah duduk berimpitan di kursi belakang.

“Kasihan Papah kan itu coba lihat. Gendong sepeda di depan, orang-orang mau menertawakan semua. Tadi juga bayarnya dobel, sopirnya minta lagi sama Papah padahal uangnya buat beli susu adik lho. Demi kamu Papah rela diliatin banyak orang,” bisik Mamah yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan.

Momen itu bikin saya tidak pernah membolos lagi. Tiba-tiba kalimat Mamah terendap sebagai kemarahan bagi orang-orang yang mengejek Papah ketika membawa sepeda di samping sopir. Apalagi setelah saya tahu Papah dan Mamah tengah bekerja keras mengumpulkan uang agar kami bisa membeli rumah tipe 36 yang akan dicicil 15 tahun (Baca: Nasib Anak Guru Era Orde Baru: Makan Nasi Garam Itu Biasa).

Saya menyesal karena bolos dan membohongi orang tua. Setelah itu saya berubah. Rajin ke sekolah dan belajar setiap waktu sampai kelas lima SD saya menjadi pelajar teladan mewakili SD ke tingkat provinsi. Saya jadi peringkat tiga provinsi lalu peringkat dua nasional.

Saya menulis ini usai kembali membuka foto-foto lama dalam album yang saya simpan di bawah tumpukkan baju dalam lemari. Setidaknya biar saya tidak melupa dosa pada mereka. Saya sedih mengenang ini. Dari cerita yang kudengar dari Mamah pagi tadi saat kami video call, saat itu Papah sempat stress karena saya kabur dari rumah. Papah yang tegas dan galak tiba-tiba menangis saat gagal menemukan saya keliling kota. Setelah mendapat telepon dari Pakde Aris di kantor pagi harinya, barulah Papah lega.

Momen album dan cerita Mamah menyesap benar ke pikiran. Saya belum merasakan betul menjadi orang tua. Bagaimana saya mencintai anak saya nantinya barangkali berkaca dari simpulan yang mereka lakukan, bahwa cinta orang tua pada anak selalu sama. Ia menyelip di balik kemarahan lalu berkelindan di antara kecewa yang terkatakan.

Tukang Kebun



Genre:

Tema: