Betty Marpaung
Persatuan Ibu-Ibu (PII) Agricinal punya tradisi bikin pasar murah satu minggu menjelang bulan puasa. Tujuannya membantu karyawan belanja keperluan lebaran. Barang yang dijual di sana beraneka ragam. Ada baju, sepatu, tas, pakaian dalam, perlengkapan ibadah, handuk, seprei, dan barang-barang pecah belah. Barang elektronik dan furnitur juga dijual dengan sistem pemesanan khusus.
Tradisi ini bermula sejak puluhan tahun lalu. Pasar murah ini selalu disambut meriah karyawan, biasanya digelar dua hari Sabtu dan Minggu. Mereka tak perlu lagi jauh-jauh ke kota demi belanja Lebaran. Tidak perlu lagi menggerutu karena transportasi.
Barang-barang yang dijual di sana didatangkan dari kota Bengkulu oleh ibu-ibu PII yang bertindak sebagai panitia. Barang dagangan kami bagi dua, yang bisa dikembalikan dan yang tidak.
Sejak 2006 aku sudah ikut jadi panitia. Pasar murah selalu ramai, kadang kami kewalahan melayani pembeli. Antrian panjang berdesak-desakan jadi pemandangan biasa selama dua hari.
Selama pandemi PII tidak mengadakan pasar murah. Baru tahun ini kami buka lagi. Sistemnya tidak berubah. Namun, pasar murah tahun ini cukup hambar, tidak semeriah tahun-tahun lalu. Mungkin pengaruh dari pesatnya perkembangan plus berubahnya perilaku orang-orang karena pandemi.
Sejak pandemi banyak aplikasi-aplikasi belanja online tumbuh subur. Bahkan untuk daerah terpencil pun sudah terjangkau, kurir pengantar barangnya banya. Sebenarnya situasi ini sangat membantu orang-orang yang tinggal di pedesaan seperti kami ini.
Anak saya yang masih SMP sudah bisa belanja online, dia tidak mau lagi orangtua yang memilih lalu membelikan barang-barang keperluannya seperti jam, sepatu, baju, dan lain sebagainya. Dia pilih pesan, lalu bayar sendiri.
Aku dengar dari teman, aplikasi belanja online juga bisa melayani kredit HP sepuluh kali bayar. Mungkin situasi itu salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku karyawan pada pasar murah tahun ini.
Genre: Nonfiksi
Tema: Ekonomi