Abinaya Ghina Jamela: Aku Mau Jadi Sesuatu yang Mustahil

Abinaya Ghina Jamela (Dokumen Yona Primadesi)

Abinaya Ghina Jamela sudah tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Saat berusia tujuh tahun, dia sudah membuat buku kumpulan puisi berjudul “Resep Membuat Jagat Raya” lalu masuk dalam 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa (Ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki) kategori Karya Perdana dan Kedua. Sejak saat itu nama Naya mulai diperhitungkan di jagat kesusasteraan Indonesia.

Tahun lalu Tukang Kebun pernah ngobrol dengan Naya dan Bundanya, Yona Primadesi di acara Apresiasi Sastra Radio Buku. Di sana Tukang Kebun banyak bertanya ke Naya sejak kapan ia menulis, bagaimana caranya, lalu apa cita-citanya. Naya mau menjawab asal Tukang Kebun menang game ABC Lima Dasar, permainan menebak nama hewan, benda, tumbuhan, atau apapun yang disetujui bersama dari jumlah jari yang dipasang lalu dihitung sesuai abjad.

Tukang Kebun menang dong dan Naya mau menjawab pertanyaan waktu itu. Naya berkenalan dengan dunia tulis menulis sejak berusia lima tahun. Awalnya penulis kelahiran 11 Oktober 2009 ini sama seperti anak kecil kekinian yang langsung tertarik dengan gawai. Nasib baik, Bunda Yona melanjutkan kuliah di Jawa Barat dan memiliki banyak waktu bersama Naya. Bersama sahabatnya, Nermi Silaban, yang akrab disapa Mimo, Bunda Yona mulai menjauhkan gawai dan mengajak diskusi Naya tentang tulisan.

Naya juga mulai mengenal aktivitas menulis sejak diajak diskusi. Naya mulai menulis lewat buku harian yang diberi nama Jurnal Harian Naya. Di buku harian itu Naya menuliskan segalanya dan mulai menikmati aktivitasnya. Bagi Bunda, saat itu ia melihat Naya sepertinya bisa menulis lebih dari sekadar catatan harian. Selain “Resep Membuat Jagat Raya” Naya juga sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Aku Radio bagi Mamaku”.

Di awal tahun 2019 ini Tukang Kebun kembali bertemu Naya dan ngobrol-ngobrol asyik lagi. Ternyata sudah banyak perubahan dari Naya yang sedang mempersiapkan bukunya yang berikutnya.

Tukang Kebun (T): Halo Naya apa kabarnya?. Lama enggak ketemu nih?
Naya (N): Halo
Bunda Yona (Y): Halo Om..

T: Kamu lagi ngapain eh sekarang? Sibuk banget kelihatannya
N: Aku lagi bikin buku cerita.
T: Buku cerita? Wah puisi lagi atau cerita baru nih?
N: Buku cerita lah.
T: Jadi buku kamu sekarang sudah berapa sih? Puisi satu, cerita satu kan?
N: Heh bukan ya, Satu buku puisi satu buku cerpen, satu cerita.

T: Wah sudah banyak. Kalau menulis terus mainnya kapan?
N: Mainnya kalau sudah pusing, kehabisan ide, baru main deh. Waktu nulis kadang enggak boleh diganggu kadang boleh. Boleh diganggunya pas lagi pusing baru boleh diganggu, main.
T: Memang kalau pusing biasanya ngapain?
N: Pusingnya tuh tergantung sih, pusingnya pas enggak bisa metaforin sesuatu. Kalau pusing dengerin lagu. Lagu Queen. Terus Ed Sheeran. Kalau Indonesia Pendekar Rajawali, yang ‘siapa yang’
T: Hah?Pendekar Rajawali? Apaan? Yoko (Return of The Condor Heroes) itu ya? Bibi Lung? Bibi Hung bukan?
N: Bibi Lung tapi itu di filmnya, kalau di bukunya namanya Xio Long.
Y: Jadi Naya itu suka Jin Yong penulis naskah Pendekar Rajawali, itu tu sampai berapa kali dia baca. Kami di rumah baru punya 12 jilid dia baca berulang-ulang, jadi dia ngefans sekali sama Jin Yong dan Pendekar Rajwali. Terus aku cerita dulu tu ada filmnya lho lalu dia cari-cari sendiri googling terus dia hapalin lah lagunya Yuni Shara itu. Tapi dia belum nonton filmnya.

T: Terus buku apa lagi yang kamu suka? Kabarnya kamu suka banget sama buku J.K. Rowling dan J.R.R. Tolkien ya?
N: Naya iri sama mereka karena buku mereka banyak dan bagus-bagus semua.
T: Sudah baca semua buku mereka dong? Harry Potter tuh ada tujuh apa delapan ya tebal-tebal semua lagi.
N: Sudah, tapi yang Harry Potter satu sampai lima. Yang enam dan tujuh enggak boleh?
T: Kok enggak boleh sama Bunda?
Y: Nah, hehehe dia kan lagi menyusun novel, fantasi. Ketika dia membuat novel fantasi dia harus membaca yang realis, buat saya sama seperti melukis. Jadi tidak baca yang fantasi lagi. Dia harus dikenalkan dulu dengan tulisan-tulisan realis karena ketika dia menulis fantasi Naya harus mampu mendekspirsikannya serealis mungkin, yang fantasi kan ide.
T: Buku realisnya seperti apa Bunda?
Y: Misalnya ya John Steinbeck, baru selesai baca itu dia kemarin. Satu dua sudah selesai. Tapi untuk memulainya yang agak susah, dia ketika melihat John Steinback dia nanya ini ceritanya soal apa. Nah saat itu giliran Nermi yang mendongeng, bukunya soal apa.
N: Tapi itu enggak ada ceritanya, cuma tentang keluarga aja. Itu-itu saja.

N: Bunda, tadi kan bilang Naya suka menggambar dan melukis tapi di sekolah Naya enggak suka. Karena di sekolah itu kadang-kadang disuruh menggambar ini menggambar itu (penyeragaman). Kalau lagi enggak pengen gambar itu ya tetap harus menggambar. Kalau pengen menggambar ternyata waktunya tidak menggambar.
T: Wah sering enggak masuk sekolah enggak? Aku dulu sering banget bolos sekolah karena ada pelajaran matematika sama biologi. Selalu dapat 5.
N: Ih, aku suka matematika. Enggak pernah dapat lima. Soalnya belajarnya pakai buku komik matematika (memamerkan buku komik matematikanya lalu Tukang Kebun langsung pusing hehehe)

Dua buku Naya yang sudah diterbitkan (Dok Instagram Yona Primadesi)

T: Eh Naya, ngomong-ngomong soal tulisan, dalam wawancara yang dimuat Liputan6 aku baca kalau Naya punya teknik menulis sendiri. Ceritakan dong teknis menulis Naya seperti apa?
N: Naya enggak tahu, itu Bunda sendiri yang bilang jadi enggak tahu.
Y: Waktu di wawancara itu kan Naya baru selesai menulis puisi. Jadi kalau misalnya dalam menulis puisi yang pertama itu Naya menulis dengan kalimat efektif, biasanya kan kita nulis panjang-panjang kalau Naya enggak. Kalau dalam puisi Naya itu dia suka mencari metafor yang dia temukan dari lingkungan sekitar dan itu hasil main-main. Lalu dia mengkombinasikan apa yang dia baca, nah waktu menulis buku puisi itu Naya sedang suka baca mengenai fauna, rata-rata metafor yang dia gunakan itu lebih ke fauna. Jadi biasanya Naya menulis itu setelah selesai nonton atau baca buku. Ada hal menarik lalu dia tuliskan, itu dari segi teknik penulisan.

T: Terus Bagaimana cara Naya menulis, lebih ke prosesnya sih.
Y: Awalnya itu kami main, awalnya memang tidak punya gambaran Naya itu bakal menulis. Awalnya main lalu setelah dia mulai menulis kami kasih dia buku diary lalu kami minta dia menulis dulu di sana apa yang menarik dalam satu hari. Waktu itu dia masih umur lima tahunan. Dia tulis, ‘Aku dimarahin Bunda’ atau ‘Aku dapat kejutan’, Aku masih simpan diary itu. Lalu Nermi ajakin dia main tebak-tebakkan, ‘apakah aku? badanku segitiga’ otomatis dia lebih peduli dengan sekitar kemudian dari sanalah muncul kemampuan dia mencari perbandingan dalam puisi.
N: Bener-bener.

T: Naya pesan enggak sih buat teman-teman, terutama untuk teman-teman Tenera biar rajin nulis? Biat bisa seperti Naya.
N: Mmmm menulis itu dengan berusaha. Berusaha untuk memikirkan tulisannya.
T: Bahahahaha…aku mikirin tulisanku malah enggak jadi-jadi. Gimana dong?
N: Hmmm…kalau aku sih baca banyak buku habis itu kata Bunda kalau baca buku terus nanti kepenuhan terus tumpah, jadi harus dituang. Diisi terus dituang, diisi dituang. Setelah baca langsung ditulis. Mainnya kalau pas pusing menulis. Ya harus tidur juga, harus main juga, harus makan juga, harus minum juga.

T: Kalau Bunda kasih nasihat dong bagaimana agar Ibu-Ibu muda ini bisa menjauhkan anak-anaknya dari kecanduan gadget dan mau mengenalkan literasi sejak dini?
N: Kalau untuk kami, gini kami ini rada sedikit konvensional kali ya. Jadi bukan tipe orang tua zaman now. Jadi kami berasumsi bahwa anak itu punya tahap perkembangan, termasuk dalam proses literasi. Di sini literasi ini bukan perkara membaca dan menulis. Sebelum anak mampu menguasai gadget dan lain hal dia harus paham dulu dasar. Dasar itu bagaimana, dasar membaca.

Dalam membaca itu juga ada tahap, pra membaca, membaca dini, membaca lancar. Ketika dia belum sampai tahap membaca mahir, kami berasumsi bahwa gadget belum bisa diberikan. Kenapa? Kami berasumsi bahwa gadget itu informasi bisa diperoleh apa saja bentuknya. Ketika anaknya belum bisa membaca yang baik, belum membaca kritis baru mahir, dia belum bisa menyaring mana informasi yang perlu dan yang tidak. Tahap itu yang kami terapkan ke Naya. Naya umur 4 sampai 8 dia harus steril dari gadget dengan asumsi dia harus paham teks tertulis dulu. Membaca teks tertulis pun kadang-kadang beda ketika dibaca di ponsel. Kalau membaca teks konvensional kita punya waktu dan jeda untuk mengendapkan, mencoret yang enggak setuju. Kedekatan lebih dapat. Kalau lewat gadget kan hanya sepotong.

Itu yang membuat kami berpikir tidak boleh dulu. Tapi sekarang Naya sudah diberi sedikit keleluasaan. Apa-apa sekarang kami bilang ‘coba dong kamu belajar lewat google’. Tapi Naya justur tidak suka belajar sesuatu lewat google mending baca buku aja dia. Jadi dia memanfaatkan Google itu mencari lagu untuk teman dia menulis. Yang dia suka dalam membaca buku itu proses diskusinya itu. Itu yang kami harapkan dalam proses membaca dan ternyata pesan kami diterima Naya. Jadi mau dikasih gadget pun menurut dia cuma hiburan bukan ketergantungan.

T: Beneran nih Kamu enggak suka belajar atau mencari sesuatu lewat google?
N: Iya, soalnya Google kalau enggak tahu malah balik nanya. Ditanyain lagi ke orang. Lebih suka baca atau dengerin cerita saja. Habis baca atau dengar cerita lalu ditulis.

T: Eh waktu kita ketemu di Radio Buku, kamu cerita kalau ingin jadi penulis, detektif dan koki. Masih enggak?
N: Aku enggak tahu. Sekarang enggak. Eh Naya ingin sesuatu yang mustahil.
T: Apa? Terbang? Menyelam di tanah?
N: Ayo tebak.. (Naya juga minta Bunda Yona untuk menjawab)
Y: Apa ya apaan yang mustahil?
N: Aku mau jadi penyihir. Jadi penyihir seperti di buku-buku Harry Potter itu lho, Hogwarts.
T: Eh Fantastic Beast sudah nonton belum?
N: Sudah tapi bingung. Soalnya ceritanya mbulet, berliku-liku. Ke sana ke sini ke sana ke sini. Berliku-liku. Jadi cerita penyihir di sana enggak tahu apa.

T: Punya tulisan yang kamu rahasiakan enggak dari bunda sekalipun?
N: Punya dong.
T: Hayoo tentang apa?
N: Tentang penyihir itu, tapi sekarang Naya sudah enggak menulis tentang itu lagi.
T: Kalau di 2019 mau bikin apa lagi Naya?
N: Mau nulis tentang surau terus tentang orang-orang, coba tanya Bunda deh.
Y: Kemarin rencananya dia menyelesaikan novelnya, cuma tiba-tiba di tengah jalan pas ngobrol-ngobrol. kemarin kan kami baru menerbitkan buku anak. Judulnya..
N: Bombatalu Ritase Talise
Y: Gorga (penerbit buku) ingin kami khususukan untuk buku pra remaja dan buku anak. Ngobrolah sama Naya kalau gimana kita bikin buku anak tentang kebudayaan lokal. Naya oke, itulah kenapa tadi dia bilang tentang surau, rumah gadang, mungkin nanti tumbuhan endemik. Jadi Naya starting lalu kemudian jadi semacam guideline-nya lalu kami akan mencari penulis lain dengan cara menulis seperti Naya.



Genre:

Tema: