Hidup Macam Kereta Liuk, Manusia Hanya Bisa Bersyukur

Wiwin

Hidup seperti kereta liuk. Kadang di bawah kadang di atas. Kadang senang tapi kadang—cenderung banyak susahnya. Sekali waktu menangis kadang tertawa. Sedikit ingat tetapi banyak lupa. Nasib orang siapa yang tahu.

Di saat cuaca yang ekstrem ini, dua bulan lebih hujan tidak turun. Namun rasa syukur tetap dipanjatkan karena itulah bentuk pengabdian terhadap Tuhan.

Di musim kemarau ini bukan kantong saku sekering air. Bagaimana tidak, hampir semua bahan sembako naik. Apa-apa serba mahal tetapi apalah daya karena hidup harus terus berjalan. Meratapi nasib tidak akan mengubah kehidupan menjadi lebih baik.

Orang bijak pernah berkata, jika masih bertanya lalu protes tentang kenikmatan yang Tuhan berikan, sebaiknya kamu pergi saja ke kuburan. Di sana kamu akan bertemu dengan umat- umat yang sudah mati dari jaman Nabi Adam AS sampai zaman sekarang. Mereka yang mati itu ingin sekali kembali ke dunia, merasakan kembali banyak kenikmatan yang jauh dari dosa.

Mereka ingin memperbanyak sedekah,  menjadi orang yang bermanfaat. Namun, semua itu mustahil. Nasi sudah menjadi bubur karena semua perbuatan harus dipertanggung jawabkan. Maka dari itu jadilah manusia yang amanah dan baik dalam segala hal supaya kita lebih siap menghadap-Nya.



Genre: Nonfiksi

Tema: Sosial