Empat Hari Bertaruh Nyawa demi Cinta

Selpi Marina

Dok.Wikihow

Namaku Selpi Marlina, aku adalah pasangan suami istri alias pasutri baru, sebutan gaul untuk orang yang baru menikah zaman sekarang. Aku dan suami menikah 22 Januari 2023 di Putri Hijau.

Setelah satu bulan menjadi suami istri kami diberikan rezeki besar dari Allah. Saat mengetahui kehamilan ini aku dan suami sangat bahagia. Kami sebagai calon orangtua baru yang belum berpengalaman banyak bertanya kepada mereka yang sudah pengalaman. Kami menjalankan tiap saran itu dengan suka cita.

Selama kehamilan semua berjalan dengan balk. Aku rutin ikut Posyandu setiap bulan, minum vitamin, dan olahraga di rumah sehingga pemeriksaan selalu bagus. Banyak orang bilang kehamilanku ini adalah hamil kebo. Kata orang, perempuan yang hamil kebo itu suka makan dan tidak pernah mual saat kehamilan.

Alhamdulillah, memang apa saja yang masuk ke perutku terasa enak, bahkan porsi makan tiga kali lebih lebih banyak dari sebelumnya. Suami siaga menjagaku dan calon baby dalam kandungan. Apa pun keinginanku dikabulkan. Dia juga lebih perhatian dengan mengelus perutku saat berangkat dan pulang kerja bahkan mengajak ngobrol bayi kami.

Aku sudah mengurus surat cuti kerja agar bias beristirahat penuh di rumah sekaligus menyambut lahirnya buah hati. Aku terus mencari informasi tentang proses persalinan selama cuti, mungkin aktivitas itu sama seperti calon ibu lainnya. yang lainnya. Setelah dirasa cukup mengumpulkan informasi, aku mengajak suami ku bicara serius.

“Aku akan bertaruh nyawa melahirkan anak kita. Pada saat sudah waktunya, aku sudah ikhlas kepada Allah. Apapun yang terjadi aku terima.  Bantu aku dan jaga anak kita,” kataku pada suami. Ia menggenggam tanganku lalu memelu ku erat tanpa berkata-kata.

Sekain berlalu, tiba-tiba timbul bercak merah. Suamiku langsung panik lalu menelepon semua keluarga. Di hari itu juga aku dan suami dijemput mertua cek ke Puskesmas. Kebetulan rumah mertua dekat dengan puskesmas sehingga kami sementara tinggal di sana. Bidan bilang sudah pembukaan dua. Sakit, yang aku artikan sebagai gelombang cinta dari bayi dalam perutku datang.

Ibu bidan menyarankan agar aku tetap di rumah sampai pembukaan selanjutnya. Di rumah, jam rasanya berputar lebih lambat saat menahan sakit yang makin menjadi-jadi. Tidak hanya di perut dan pinggang, semua bagian tubuhku terasa ditusuk ribuan jarum. Aku menguatkan diri bersama suami. Bu bidan ikut menenangkan dengan berkata nanti malam bayi akan lahir.

Aku mulai merasa tenang tetapi panik datang lagi usai azan Isya karena pembukaan belum bertambah padahal hari itu sudah aku lalui dengan menahan rasa sakit. Dua hari kemudian aku minta dibawa ke Puskesmas karena sudah tidak kuat lagi menahan sakit, Setiap waktu aku bergerak. Berjongkok. Bahkan tengah malam aku berjalan menyusuri lorong Puskesmas untuk mengurangi rasa sakit tetapi pembukaan tidak datang juga. Malam itu juga aku minta pulang karena kondisiku tidak berubah.

Sudah berbagai cara kami lakukan untuk mengurangi rasa sakit itu, dari minum racikan obat sampai air zamzam. Namun, sekian ramuan itu tak mampu mengurangi rasa sakit di sekujur tubuh.

Sampal hari ke-4. Waktu subuh aku makan kurma yang dibelikan suami lalu jalan pagi di depan rumah. Tiba-tiba perutku kencang. Rasa sakit semakin kuat sehingga aku tidak mampu berjalan. Suami secepat kilat memapahku lalu menaikan ke mobil, kami berangkat ke Puskesmas.

Puskemas waktu itu belum buka. Tidak ada petugas juga di sektar area sehingga sehingga suamiku menggedor pintu dengan keras sekali. Syukurlah ada seorang petugas membuka pintu dari dalam Puskesmas lalu segera membantu kami.

Hanya sekian senti lagi dari tempat tidur, air ketubanku pecah. Bidan bilang ternyata sudah pembukaan 4 sehingga tubuhku merasakan sakit yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku menangis dan mengeluh, merasa tidak berdaya lagi tetapi suami selalu menguatkan.

Akhirnya pembukaan pun lengkap. Bidan sudah bersiap memegang alat persalinan. Aku melihat gunting yang akan merobek tubuhku. Aku pasrah dan menaruh keyakinan bahwa Allah pasti membantu kami. Tepat jam setengah sembilan malam, terdengar suara tangisan bayi. Suamiku menangis lalu mendekapku erat. Kami sah bergelar ayah dan ibu setelah bertaruh nyawa selama empat hari.



Genre: Nonfiksi

Tema: Keluarga