Tri Marcelina Tarigan
Saat menulis ini, sudah 2.848 hari waktu yang aku lewati bersama pasangan. Tentu itu belum dihitung masa pacaran kami. Jika angka itu menjelma manusia, jumlah itu sudah memenuhi lapangan sepakbola kelurahan. Jika dikalikan dengan jumlah uang merah dalam saldo rekening, nominalnya cukup membeli mobil mewah.
Waktu berputar cepat sehingga ribuan hari bersamanya terasa sebentar. Terlalu banyak kejutan sehingga kami jauh dari rasa bosan. Jangan salah sangka, ‘kejutan’ di sana bukan hanya hal manis saja. Salah satu hal yang yang tak mengenakan itu adalah dia tak seromantis di masa awal kami memupuk cinta.
Aku ingat waktu kami pacaran. Aku sedang marah padanya. Tak usah tanya tentang apa karena apa pun masalahnya, tetap dia yang salah. Dia berusaha membujuk tetapi tak aku hiraukan. Dia sudah kehabisan cara lalu memilih diam.
Sekian detik kemudian dia mencari-cari sesuatu di tasnya. Wajahnya panik karena tak menemukan benda yang dicarinya meski sudah grasak-grusuk. Hal itu mencuri perhatianku. Jangan-jangan ada sesuatu yang penting di tasnya yang hilang?
Aku mulai ikut panik. Melihatnya semakin tak tenang dan gelisah mencari-cari, aku pun memutuskan untuk bertanya padanya dengan nada ketus.
“Nyari apa sih?? Ada yang hilang??” Dia pun berhenti mencari-cari dan menjawab, “Udah ketemu kok. Tadi aku pikir aku kehilangan suaramu.” Seketika wajahku semerah tomat yang diulek-ulek bersama cabai. Merah sekaliii….
Dulu dia semanis itu. Sekarang, ya sudahlah. Karena ternyata menikah bukan soal romantis-romantisan lagi tetapi tentang mengenal satu sama lain lalu berjuang untuk membahagiakan satu sama lain. Semakin dewasa kami semakin menyadari bahwa ada banyak mimpi yang harus diwujudkan bersama dengan peluh dan pikiran.
Kini hal romatis bagiku bukan tentang gombalan maut, tapi bagaimana dia tetap memperlakukanku sebagai ratu di rumah sembari menjalankan tanggung jawabnya dengan cinta. Waktu seumur hidup itu takkan lama bila kita bersama orang yang tepat.
Genre: Nonfiksi
Tema: Rumah Tangga