Melepas Anak ke Pesantren

Unistri

Dok.Wikihow

Pertengahan bulan Juli 2023 lalu saya bersama keluarga mengantar anak sulung mondok ke sebuah pesantren di kota Bengkulu. Umur anak saya masih 11 tahun, kalau di sekolah umum dia baru duduk di SMP.

Kami cukup akrab, bisa dibilang dia teman baik saya di rumah dan tempat kerja. Kami berangkat bersama ke sekolah naik motor tiap hari. Kami tidak pernah kehabisan cerita dan selalu bersenda gurau di atas motor. Jatuh dari motor juga berdua. Anak saya ini menurut karakter bapaknya. Manutan, artinya dia tidak pernah membantah atau menolak perintah orangtua. Saat ibunya ngomel dia diam seribu bahasa. Persis suami saya.

Saya sempat bertanya lagi tentang keputusannya melanjutkan pendidikan ke pesantren, biar hatinya mantap. Dia menjawabnya dengan tegas lalu berjanji tidak akan menangis.

Kami sampai ke pesantren jam delapan pagi. Setelah mengurus beberapa hal di sana kami pulang, kira-kira jam empat sore. Dia memeluk erat dua adiknya sambil tertawa-tawa. Saat giliran saya memeluk, entah mengapa dada ini terasa sesak dan berat. Air mata sudah mau jatuh tetapi saya tahan sekuat tenaga. Suami juga sama, menahan tangis. Namun, baru menjauh 50 meter dari pondok air mataku sudah tumpah.

Perjalanan dari kota Bengkulu ke Putri Hijau memakan waktu kurang lebih lima jam. Di tengah perjalanan dua anak saya yang tidur sejak berangkat bangun. Mereka tampaknya sudah tidak sabar sampai di rumah. Namun, sedetik kemudian mereka minta kami putar arah.

“Pak kita jemput lagi abang. Aku mau abang, Pak,” pinta anak perempuan saya yang berusia delapan tahun lalu menangis kencang dalam mobil.

Saya dan suami tidak berani menjawab. Kami larut dengan diri sendiri sambil menyeka air mata yang perlahan membasahi pipi.

Setiap hari saya berharap dapat kiriman foto dari pesantren. Namun, saat mendapat kiriman foto anak saya malah makin sedih. Rasanya ingin saya ambil lagi dari pesantren. Sekarang sudah hampir dua bulan kami pisah. Hati saya mulai lega dan tenang namun doa tidak pernah putus untuknya.

Sehat terus Nak, semoga apa yang diharapkan dan dicita-citakan tercapai; Hafiz Alqur’an yang berbudi pekerti baik dan dapat diamalkan untuk diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.



Genre: Nonfiksi

Tema: Keluarga