Saat Air Sumur Menjadi Barang Langka

Surasmini

Dok.Wikihow

Hari itu saya pergi bersama suami ke Tunggang menengok anak dan cucu. Perjalahan kami lalui dengan suka cita. Memasuki jalan poros anak kami mengirimkan pesan pendek, bunyinya mantra kami tidak usah mampir ke mana-mana karena di Tunggang sudah mendung.

Benar saja, kami sudah disambut gerimis saat memasuki area Pasar Tunggang lalu tak berselang lama tambah deras. Jalan pun mulai licin, bikin kendaraan ngepot kanan kiri. Hujan makin deras ketika kami sampai ke rumah anak.

Saya merasa senang sekali karena bertemu hujan. Di saat bersamaan aku juga merasa sedih karena sudah empat bulan rumput dan sumur di Putri Hijau kering karena kemarau. Saat itu pun Putri Hijau tidak hujan sama sekali.

Habis salat subuh suami saya empat kali bolak-balik mengambil air ke pabrik menggunakan jerigen untuk memenuhi kebutuhan kami. Sedih rasanya melihat beliau tetapi apa daya, kami butuh air.

Untuk kebutuhan air minum awalnya kami minta tetangga depan rumah tetapi hanya bertahan satu bulan karena sumur mereka juga kering. Kondisi itu diperparah dengan kebiasaan kami yang tidak bisa minum air galon.

Namun, Tuhan selalu membantu hamba-Nya yang sedang kesulitan. Waktu itu seorang teman menelepon lalu menawarkan air untuk minum di sumurnya. Kami senang sekali mendengar tawaran itu dan langsung menerimanya. Selama musim kemarau air menjadi barang langka, tiap orang harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli air bersih. Syukurlah selalu ada jalan mengatasinya.



Genre: Nonfiksi

Tema: Lingkungan