Pilpres Bikin Fiersa Bersari Nggak Asyik

Rita Melda

Dok.Wikihow

14 Februari 2024 baru saja berlalu. Hiruk-pikuk pesta demokrasi yang baru saja dirayakan di seluruh pelosok negeri masih sangat terasa. Terlebih hasil hitung cepat yang dirilis banyak lembaga survey sudah menunjukan kemenangan salah satu paslon.

Meski belum resmi diumumkan oleh KPU tetapi ungkapan kebahagiaan para pendukung tidak dapat dibendung. Sosial media penuh postingan rasa syukur dan kebahagiaan pendukung, siap menyambut Presiden gemoy.

Apa sih yang bisa dipelajari dari Pilpres tahun ini? Tentu banyak sekali. Memilih presiden menjadi hal sakral yang seharusnya bersifat rahasia. Namun, saat ini, perkara beda pilihan bisa merembet ke mana-mana. Tidak seragam digodam hinaan ‘kurang cerdas’, ‘otak batu’, dan masih banyak lagi sematan negatif lain yang pada akhirnya membuat saya bertanya, kenapa Pemilu sebrengsek ini?.

Untuk saya yang tidak begitu mengikuti perkembangan dunia politik, debat Capres menjadi tontonan wajib untuk mengenal lebih jauh tentang visi misi tiga pasangan. Namun, saya berhenti menonton di menit-menit awal karena para capres malah sibuk menjatuhkan lawan dengan isu-isu yang beredar ketimbang berdebat tentang gagasan. Saya makin muak dengan banyaknya gimmick yang sama sekali tidak lucu.

Belum lagi kehadiran buzzer di sosial media yang menggunakan formula sama: menyebarkan opini negatif untuk menjatuhkan lawan. Ini tidak sepenuhnya berhasil. Contohnya yang dialami komika Arie Keriting. Opininya tentang etika salah satu Cawapres pada saat acara debat justru mendapat respon negatif dari ibu mertuanya sendiri. Tema diskusi bergeser, dari urusan capres ke rumah tangga.

Selain Arie Keriting ada juga penulis quote galau yaitu Fiersa Besari yang belakangan aktif menulis opini tentang Pilpres. Meski sampai sekarang is membantah menjadi buzzer salah satu paslon. Begini cuitan terbarunya tentang film dokumenter “Dirty Vote”:

Masalahnya ini kan demokrasi, semua orang berhak menentukan pilihan. Lantas kenapa yang berbeda disebut batu? Yang terakhir ada Agus Mulyadi, seorang blogger, penulis, dan digital story teller di jogja ikut mempengaruhi saya dengan opininya di detik-detik terakhir sebelum berangkat ke TPS.

Saya akui dia cukup berani menyebutkan siapa pilihannya. Meski tidak begitu detail kenapa Agus berusaha cukup keras untuk tidak memenangkan capres lainnya tetapi paling tidak dia tidak ikut-ikutan menulis opini yang dapat memancing ujaran kebencian. Reaksi dari pengikutnya beragam, tidak sedikit yang berhenti mengikuti akunnya yang sudah centang biru.

Dengan banyak sekali drama serta kejutan dalam masa kampanye, saya patut bersyukur pemilu tahun ini berjalan damai. Siapa pun yang nanti terpilih menjadi pemimpin, ingatlah bahwa mereka adalah pilihan masyarakat Indonesia. Sebagai warga negara, kita bisa memberi kontribusi sekecil apa pun untuk kemajuan negeri ini.

Seperti saya, akan memajukan pendidikan bersama sekolah Tenera. Pesan saya kepada calon Menteri Pendidikan yang baru, buatlah kurikulum bahagia untuk anak-anak Indonesia. Terakhir, siapa pun presiden yang kamu pilih, tidak akan menghilangkan pertanyaan “kapan nikah?” pada saat lebaran nanti, weewww.



Genre: Nonfiksi

Tema: Sosial