Pilpres dan Sebenar-benarnya Demokrasi dalam Keluarga Kecil Kami

Deva Susanti

Dok.Wikihow

Pilpres di negara kita baru saja dilaksanakan. Sebagian besar orang punya pilihan masing-masing. Begitu juga dengan keluarga kecil kami. Saya dan suami punya lima anak. Meski belum punya hak pilih, mereka sudah berani berpendapat tentang para Capres sekaligus mengutarakan siapa jagoan masing-masing.

Anak saya yang nomor tiga, menjagokan si rambut putih. Pilihannya berbeda dengan kami semua yang mendukung si Gemoy. Saya tanya siapa nama si rambut putih itu dan dengan mantap dia jawab, “Ganjar men haha,” lalu mengacungkan tiga jari.

Abang, kakak, dan adiknya reaktif mendengar pilihan itu. Mereka saling mengutarakan pendapat masing-masing sampai nyaris berkelahi. Saya dan suami hanya mendengarkan. Sesekali tertawa mendengar perdebatan mereka.

Namun kami harus turun tangan juga saat mereka sudah berdebat menggunakan emosi. Saya jelaskan kepada mereka bahwa siapa pun boleh mengutarakan pendapatnya tetapi harus saling menghargai dan siap menerima apa pun nanti hasil coblosan.

Singkat cerita, setelah saya dan suami selesai memberikan suara di TPS, Dika langsung bertanya siapa yang kami coblos. Saya jawab si Gemoy dan seketika Dika lesu. Usahanya membujuk kami agar memilih si rambut putih di TPS gagal total. Abang dan kakaknya langsung bilang pasti Si gemoy pemenangnya. Untuk mengobati hati Dika saya mengajak mereka beli es krim.

Di tengah kenikmatan es krim itu saya jelaskan kepada anak-anak bahwa siapa pun yang kita pilih tidak ada hubungannya dengan keberhasilan hidup di masa depan. Mereka yang terpilih dan yang kita pilih hanya mewakili menjalankan pemerintahan dan wajibmembawa perubahan yang lebih baik. Namun bila hidupmu ingin berubah dan sukses, semua tergantung usaha dan kerja keras sendiri.



Genre: Nonfiksi

Tema: Politik